Solusi Penanggulangan Banjir di Ibu Kota

Solusi Penanggulangan Banjir di Ibu Kota

Solusi Penanggulangan Banjir di Ibu Kota – Guyuran hujan turun di Ibu Kota pada saat malam pergantian tahun baru 2020. Situasi ini tak menyurutkan warga berpesta, merayakan dan menyambut tahun baru.

Namun, suka cita dan pesta malam pergantian tahun berubah  Sejumlah sungai yang melintas di permukiman penduduk meluap. idnplay

Beberapa ruas jalan Jakarta tergenang. Sebagian jalan lumpuh, tak bisa dilalui. Banjir tak hanya menerjang Ibu Kota, sejumlah daerah penyangga seperti Bekasi, Depok, dan Tangerang juga terdampak.

Di Tangerang dan  Ratusan ribu warga terpaksa mengungsi, rumah mereka terendam banjir.

Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga menyebut bahwa banjir pada 1 Januari 2020 disebabkan curah hujan yang tinggi. Selain itu, air kiriman dari Bogor juga memperparah banjir di Jakarta.

Namun, bukan itu yang menjadi perhatian Nirwono. Ia menyebut, seharusnya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bisa meminimalisir dampak dari hujan lebat dan air kiriman sehingga banjir tidak meluas. judi bola

“Banjir kemarin membuktikan Pemda DKI tak banyak melakukan antisipasi banjir,” kata Nirwono Joga

Menurut Nirwono, Pemprov DKI Jakarta belum maksimal dalam menjalankan program pencegahan banjir. Ia melihat, revitalisasi danau, waduk, situ, dan embung berjalan lambat. Hasilnya, sistem drainase di Ibu Kota dan sekitarnya tidak berfungsi maksimal.

Solusi Penanggulangan Banjir di Ibu Kota

“Penambahan RTH baru pun tak signifikan yang membuat daerah resapan air tidak bertambah banyak pula. Banjir terbukti melanda Jakarta pada awal tahun baru ini,” ucap Nirwono. https://americandreamdrivein.com/

Nirwono berpendapat, pembenahan program pencegahan banjir perlu dilakukan. Pekerjaan ini bukan hanya dibebankan ke Pemprov DKI Jakarta saja, melainkan juga pemerintah pusat serta kementerian terkait.

Ia pun menyesalkan ada ketidaksepahaman antara Pemprov DKI dan pemerintah pusat tentang program pencegahan banjir.

“Program penataan bantaran saat ini masih terhenti akibat ketidaksepakatan atau perbedaan konsep penanganan normalisasi atau naturalisasi, serta pembebasan lahan di bantaran kali yang tidak berlanjut,” tutur Nirwono.

Ia pun meminta, Pemprov DKI Jakarta dan pemerintah pusat untuk segera malakukan langkah-langkah strategis untuk bisa mengatasi masalah banjir ini.

Untuk jangka pendeknya, Pemprov DKI Jakarta diharapkan, mampu menyiapkan sarana dan prasarana bagi warga yang terdampak banjir.

“Pastikan tempat-tempat evakuasi yang ada di sekolah, kantor pemerintah, rumah ibadah dapat dioptimalkan untuk beberapa hari ke depan,” ucap Nirwono.

Kedua, menurut Nirwono, Pemprov DKI sebaiknya langsung memetakan permukiman yang terdampak banjir, khususnya yang berada di bantaran kali. Sehingga bisa menyusun rencana relokasi warga.

Nirwon menuturkan, untuk jangka menengahnya Pemprov DKI Jakarta harus menata 13 bantara sungai atau kali, revitalisasi 109 situ, danau, embung, waduk yang ada di Jakarta.

“Baik dengan normalisasi atau naturalisasi atau juga perpaduan keduanya,” kata Nirwono.

Selanjutnya, merehabilitasi saluran air secara bertahap bersamaan dengan revitalisasi trotoar yang sedang dilakukan Dinas Bina Marga. Tak hanya itu, Nirwono juga mengingatkan agar Pemprov DKI Jakarta tidak lupa menambah ruang terbuka hijau (RTH).

Sebab, menurut dia, RTH di Jakarta masih sekira 9,98 persen. Jauh dari target daerah resapan air, sebesar 30 persen.

“Hingga curah hujan tinggi bisa tertampung dengan baik dan mengantisipasi banjir kalau drainase DKI tidak berfungsi,” terang dia.

Sementara, pengamat tata kota lainnya, Yayat Supriatna berpendapat, banjir di Jakarta kali ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama adalah sistem drainase yang sudah ketinggalan dan tidak bisa mengantisipasi pola hujan yang saat ini terjadi.

“Drainase kita sebagian besar dibuat pada saat masa kolonial, kondisinya tidak sesuai dengan kebutuhan. Karena pola hujan saat ini berubah, karena dipengaruhi faktor global,” ucap Yayat

Kedua, menurut Yayat, adalah faktor lingkungan yang setiap tahunnya berubah. Apalagi, RTH di Jakarta yang kian menipis. “Perlu dicermati kenapa ruang terbuka makin hilang, serapan makin berkurang. Itu juga menjadi PR besar kita,” tambah Yayat.

Faktor yang ketiga adalah kebiasaan buruk warga Jakarta, yakni membuang sampah sembarangan. “Keempat, faktor membangun rumah tanpa didukung kelengkapan infrastruktur drainase yang bagus. Kemudian membangun rumah di bantaran sungai yang berbahaya. Jadi banyak tindakan tindakan kita yang justru mengundang bencana makin lama makin besar. Jadi bencana itu faktor manusia sangat besar pengaruhnya,” terang Yayat.

Yayat juga menyebut, Jakarta terlambat dalam memperbaiki dan meningkatkan sistem penanganan banjir. Pembenahan sistem drainase, baru sibuk dibahas ketika banjir mengepung Ibu Kota.

Apalagi, kata Yayat, terjadi silang pendapat antara Pemprov DKI Jakarta dengan pemerintah pusat. Hal ini justru semakin menghambat pembenahan sistem penanggulangan banjir.

Ia pun menyoroti konsep naturalisasi yang diusung Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk menangani banjir. Yayat sanksi dengan konsep ini, sebab belum pernah diuji coba.

“Bagaimana efektifnya?” tanya Yayat.

Sedangkan konsep normalisasi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang menormalisasi sungai, bisa mengurangi dampak banjir. Contohnya, kata Yayat, bisa dilihat di kawasan Kampung Pulo, Jatinegara, Jakarta Timur.

“Tetapi ujung dari dua proyek ini, khususnya naturalisasi, itu sama. Yaitu pembebasan lahan,” ucap Yayat.

Yayat tak sepakat dengan anggapan bahwa pembenahan di sektor hulu lebih efektif mengatasi banjir di Jakarta. Ia berpendapat bahwa penyelesaian masalah banjir harus paralel, baik di hulu maupun di hilir. Karena itu, Yayat berharap, Pemprov DKI Jakarta dan pemerintah pusat bisa saling bersinergi menuntaskan masalah banjir.

“Harus dilakukan bersama-sama. Sekarang yang di hulu sedang dikerjakan, diperkirakan 2020 akan selesai. Jadi kalau misalnya mana yang dahulu mana yang belakangan, dua-duanya harus bersinergi. Di hulu dijalankan, di hilir dijalankan. Jadi tidak saling menunggu,” tegas Yayat.

Menurutnya, konsep normalisasi sudah cukup baik, namun perlu disempurnakan. Salah satu caranya dengan memberdayakan warga yang sudah direlokasi dari bantaran sungai dan daerah resapan air.

“Salah satunya upaya relokasi penduduk ini harus diiringi upaya pemberdayaan ekonomi. Mereka yang pindah dari bantaran sungai, pindah dari daerah resapan air mampu mandiri untuk membayar rumah susun,” tutur Yayat.

Presiden Jokowi turut merespons banjir yang menerjang Ibu Kota pada Rabu 1 Januari 2020. Ia bahkan sempat turun ke lapangan, mengecek sarana dan pra saranan pengendalian banjir.

Pada Jumat (3/1/2020) pagi, Jokowi meninjau Waduk Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara. Ia ingin memastikan semua alat penanganan banjir yang ada di waduk tersebut berfungsi secara optimal.

“Presiden tentunya ingin memastikan Waduk Pluit yang berfungsi sebagai tampungan sementara (polder) yang masuk dari Kali Cideng (termasuk Kali Pakin dan Kali Jelangkeng), anak Kali Ciliwung (Kali Besar) dan saluran drainase sekitarnya bisa beroperasi dengan normal,” kata Menteri PU dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, Jumat (3/1/2020).

Dia menjelaskan, Waduk Pluit memiliki pompa yang berfungsi mengalirkan langsung air dari waduk ke laut. Pompa ini dapat digunakan saat terjadi banjir dan pasang air laut (rob).

Dia melanjutkan, Waduk Pluit sudah dilengkapi dengan 3 rumah pompa berkapasitas total 49 m3/detik.

“Daerah yang dilayani Waduk Pluit seluas 2.080 hektare, termasuk di dalamnya pusat kegiatan ekonomi dan pemerintahan (Monas, Pasar Baru, Mangga Dua, Duri, Kota, dll). Waduk Pluit menjadi suatu bagian sistem tata air pada kawasan sekitar Istana,” ucap Basuki.

Jokowi juga turut memberikan tanggapan soal banjir yang melanda Jakarta dan sekitarnya. Ia mengatakan bahwa banjir pada awal tahun ini paling parah terjadi di empat Daerah Aliran Sungai (DAS) di DKI Jakarta. Adapun empat DAS itu yaitu, Sungai Krukut, Sungai Ciliwung, Sungai Cakung, dan Sungai Sunter.

“Pembangunan prasarana pengendalian banjir pada keempat sungai terkendala sejak tahun 2017 karena masalah pembebasan lahan,” kata Jokowi dikutip di akun instagram pribadinya @jokowi, Kamis 2 Januari 2020.

Jokowi menjelaskan program pengendalian Banjir Sungai Ciliwung sudah berjalan sepanjang 16 kilometer dari rencana keseluruhan 33 kilometer.

Sementara itu, kata dia, pada wilayah hulu kini tengah dilaksanakan pembangunan Bendungan Ciawi dan Bendungan Sukamahi. Pembebasan tanah di dua bendungan itu sudah lebih dari 90 persen dan perkembangan pembangunan fisik mendekati 45 persen.

“Kedua bendungan tersebut direncanakan selesai pada akhir tahun 2020,” ucap Jokowi.

Mantan Gubernur DKI Jakarta itu juga menuturkan bahwa percepatan pelaksanaan Sudetan Sungai Ciliwung dari Sungai Ciliwung ke Sungai Cipinang, sedang berlanjut.

Warga sekitar sudah menyetujui pemanfaatan lahan demi melanjutkan pembangunan sudetan sepanjang 600 meter dari keseluruhan 1200 meter.

Banjir yang menerkang Jakarta dan sekitarnya ini dikarenakan intensitas hujan yang tinggi sejak Rabu 1 Januari 2020. Jokowi telah menginstruksikan agar pemerintah pusat dan provinsi terus bekerja sama dalam menanggulangi banjir tersebut.

Solusi Penanggulangan Banjir di Ibu Kota 1

“Untuk penanganan darurat bersama pihak terkait, sudah difungsikan pompa, karung pasir, bronjong dan tanki air agar kawasan dan prasarana publik terdampak dapat segera berfungsi kembali,” jelas Jokowi.

Namun, Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan mengatakan, faktor penyebab banjir bukan sekadar soal normalisasi sungai. Menurut dia, faktanya seperti terjadi di wilayah Kampung Pulo yang masih terdampak banjir hebat kemarin.

“Di sini (wilayah Kampung Pulo) memang telah dilakukan normalisasi dan faktanya masih tetap terjadi banjir, karena itu memang dalam jangka panjang kita harus melihat penyelesaiannya secara lebih komprehensif,” kata Anies usai meninjau Kampung Pulo Jakarta, Kamis 2 Januari 2020.

Anies berpandangan, demi mengantisipasi banjir wajib memiliki pengendalian air di kawasan hulu dengan membangun dam, waduk, dan embung. Sehingga ada kolam retensi untuk mengontrol dan mengendalikan volume air yang bergerak ke arah hilir.

“Maka dengan cara yang seperti itu Insya Allah (banjir teratasi), tetapi itu semua kan kewenangannya di pusat ya, jadi kita lihat nanti pemerintah pusat,” jawab Anies.

Kendati untuk saat ini, Anies menegaskan fokus di pihak Pemerintah Provinsi Jakarta adalah untuk memastikan keselamat warga ibu kota yang terdampak banjir lebih dulu.

“Fokus kami ialah untuk memastikan keselamatan warga, bahwa pelayanan terjamin dan bagi semua warga yang terdampak kita akan bantu sebisa mungkin,” Anies menandasi.

Author Image
Amelia Hunter